Baiat “Azhab” Pendukung Tri Adhianto Tuai Banyak Kecaman

KOTA BEKASI, CerminDemokrasi.com – Terkait Gegernya! Video yang beredar luas di WhatsApp masyarakat Kota Bekasi, menampilkan praktik kampanye yang kontroversial dari Calon Wali Kota Bekasi nomor urut 3, Tri Adhianto.

Dalam video, Tri Adhianto tampak memimpin sumpah janji bernuansa keagamaan kepada Forum Komunikasi Rukun Warga (FKRW) Kelurahan Kaliabang Tengah.

Bukannya seruan persatuan, namun Tri Adhianto justru melontarkan ancaman “azhab” ilahi bagi pengurus FKRW yang melanggar janji memenangkannya di Pilkada Kota Bekasi 2024.

https://www.cermindemokrasi.com/wp-content/uploads/2024/11/lv_0_20241031163604.mp4

“Apabila saya melanggar janji, maka saya akan siap menerima azhab dari Allah SWT,” ujarnya.

Pernyataan ini bukan hanya mengundang kecaman, tetapi juga memicu pertanyaan serius tentang etika dan strategi kampanye yang digunakan.

Penggunaan agama dalam konteks ancaman ini dinilai telah melewati batas dan berpotensi melanggar aturan kampanye yang berlaku. Salah seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya pun, menanggapi hal yang dianggap mengerikan ini.

Ia menyebut ini memicu kecaman luas dan dianggap sebagai bentuk intimidasi dan politik identitas yang sangat tidak terpuji.

“Azhab itu ngga main-main lho. Jelas ini mengerikan, pasti ada pengurus RW yang takut dengan pernyataan Azhab ini tapi dia juga takut dengan intimidasi dan ancaman kedepannya. Apakah ini cara seorang pemimpin membangun kepercayaan? Atau justru menakut-nakuti rakyat demi meraih kekuasaan?,” tanya warga tersebut.

Tindakan Tri Adhianto ini patut dipertanyakan dan menjadi sorotan tajam bagi publik.

“Pilkada Kota Bekasi seharusnya menjadi ajang demokrasi yang bersih, bukan ajang intimidasi dan ancaman,” pungkasnya.

Kontroversi ini tentu akan berdampak besar pada citra Tri Adhianto dan jalannya Pilkada Kota Bekasi.

Sementara itu, direktur eksekutif Etos Indonesia Institute, Iskandarsyah menilai bahwa pernyataan sikap dari sekelompok masyarakat yang menyatakan sumpah dan janjinya siap mendukung pasangan Tri Adhianto-Harris Bobihoe merupakan tindakan yang berlebihan.

Terlebih ada kata-kata jika sekelompok masyarakat itu melanggar janji maka siap menerima azab dari Allah SWT.

“Seharusnya bukan masyarakat yang disumpah, justru sebaliknya, bahwa calon pemimpin itu sendiri yang harus diambil sumpahnya. Seperti jika calon pemimpin tersebut tidak amanah maka ia harus siap menerima azab dari Allah Subhanahu Wata’ala,” ujar Iskandar kepada awak media.

Iskandar juga mempertanyakan, sejak kapan masyarakat bersumpah kepada calon pemimpinnya.

“Ini justru di Kota Bekasi ada fenomena menarik, cakada mengarahkan kepada pendukungnya agar berjanji setia. Bahkan jika melanggar janjinya harus menerima konsekuensi mendapatkan azab Allah,” jelasnya.

“Masa masyarakat yang memiliki hak suara disuruh berjanji. Ini artinya ada kekhawatiran dari Tri Adhianto sendiri karena takut ditinggalkan oleh pendukungnya,” imbuhnya.

Pertanyaan yang mendasar lagi, kata dia, apakah Tri siap menerima azab dari Allah jika melanggar sumpah dan janjinya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi?

Iskandar juga menilai bahwa masyarakat tidak pernah mempermasalahkan siapa yang akan memimpin Kota Bekasi dalam lima tahun kedepan.

Namun yang diinginkan masyarakat adalah hadirnya calon pemimpin yang amanah, bukan calon pemimpin berkedok “malaikat palsu”.

“Seharusnya yang disumpah itu Tri Adhianto. Apakah dia (Tri Adhianto) bisa membantah atau menjawab sejumlah tudingan terkait kasus dugaan korupsi yang dilaporkan oleh aktivis antikorupsi ke KPK dan Kejaksaan Agung,” katanya.

Menurut dia, jika pemimpin itu bersih, tak perlu harus menekan pendukungnya untuk mengucap janji setia. Sebab bila calon pemimpin itu amanah dan memenuhi segala janji politiknya, sudah dipastikan bakal dipilih.

Sementara dilain tempat, Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing turut menanggapi, calon kepala daerah yang menggiring isu politik identitas dinilai sosok yang tidak optimis pada visi misi dirinya sebagai kontestan calon kepala daerah.

Selain itu, calon kepala daerah yang memaksa kelompok untuk diambil sumpahnya agar memilih atau mendukungnya, menandakan bahwa kontestan pilkada tersebut memiliki percaya diri yang rendah terhadap programnya.

Terlebih jika pengambilan sumpah atau janji tersebut identik menggunakan cara yang dilakukan oleh agama tertentu.

Sebab kata Emrus, Kota Bekasi merupakan daerah yang multikultur, dan jika pun nanti terpilih, cakada tersebut bukan hanya akan memimpin masyarakat agama atau kelompok tertentu, melainkan memimpin seluruh masyarakat Kota Bekasi, dari berbagai agama, suku maupun kelas sosial yang berbeda.

*Zarkasih*