JAKARTA, CerminDemokrasi.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) merespon kejadian seorang siswa SMP di Deli Serdang bernama Rindu Syahputra Sinaga (14), diduga tewas usai dihukum guru agamanya dengan hukuman squat jump 100 kali.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan peristiwa itu sangat memilukan. Hukuman yang diberikan guru membuat siswanya trauma hingga mengalami sakit sekujur tubuh.
“Peristiwa Ananda 14 tahun di SMPN 1 di Deli Serdang sangat memilukan kita semua. Apalagi terjadi di dalam ruang kelas TKP-nya yang berujung anak mengalami trauma sakit di sekujur tubuh, dengan akses penanganan kesehatan yang minim, sehingga demam yang tidak tertangani cepat, menyebabkan Ananda meninggal,” kata Jasra Putra, Rabu (2/10/2024).
Menurutnya hukuman squat jump 100 kali yang dilakukan di dalam kelas menjadi catatan buruk bagi dunia pendidikan. Ia menilai harus ada pemulihan bersama dalam kasus tersebut.
“Apalagi penyebabnya karena tidak bisa mengerjakan tugas hafalan agama. Serasa agama diterapkan dalam ruang yang amat sempit, apalagi maknanya hanya ditarik ke satu mata pelajaran. Pelajaran agama terasa begitu sesak sehingga tak ada ruang untuk mereka bernafas, bagi mereka yang tidak melakukannya,” tutur Jasra.
“Saya kira yang terjadi pada anak tidak bisa terlepas dari apa yang terjadi di sekolah, apa yang terjadi di rumah, apa yang terjadi pada kepemahaman agama di lingkungannya dan apa respons soal agama yang terjadi di sekitar anak. Sehingga melumpuhkan perhatian yang lebih penting, atas apa yang diderita anak pasca 100 kali squat jump,” imbuhnya.
Ia menilai, hukuman fisik tersebut tidak relate atau tidak nyambung dengan pelajaran agama. Menurutnya hukuman tersebut tidak bisa menimbulkan efek jera dan mempengaruhi kesadaran beragama.
“Bila kita mendengarkan berbagai kronologi yang disampaikan atas meninggalnya adik RSS, juga tidak relate hukuman tersebut, bahwa setelah hukuman itu, anak akan lebih beragama, atau dengan hukuman itu menimbulkan efek jera, sehingga tujuannya adalah kesadaran dalam beragama. Tapi apa yang terjadi dengan Ananda yang masih sangat belia 14 tahun ini, justru terbalik, yang harusnya diberi jalan keterampilan atau kemudahan dalam beragama. Justru mendapat resiko yang sangat jauh dari harapan menjadi cinta agama,” katanya.
Jasra mengatakan korban kesakitan setelah mendapatkan hukuman fisik itu. Dia juga menyayangkan fasilitas kesehatan yang diperoleh oleh korban setelah kejadian.
“Yang ada adalah kesakitan yang terus memburuk hingga kritis. Diiringi dengan persoalan fasilitas kesehatan yang memiliki skrining terbatas, sehingga menyebabkan kondisi yang terus memburuk, tidak ada perawatan intensif untuk korban, karena hanya pemeriksaan klinik dan diberi obat, dan ketika kritis, menjadi penanganan yang amat telat, sehingga rumah sakit tidak dapat berbuat banyak, hanya terkesan persoalan administrasi terbitnya surat kematian,” sebut dia.
Kini, kata Jasra, timbul penyesalan usai peristiwa itu. Menurutnya, hukuman harusnya disesuaikan dengan konteks mata pelajaran.
“Namun sekali lagi pertanyaan kita, apakah relate antara kesadaran agama dengan efek jera dengan hukuman tersebut, yang menjadi penderitaan sangat panjang untuk anak, ia harus menerima trauma dan sakit yang terus memburuk. Saya kira kalau ujungnya seperti ini, tentu kita semua sepakat sangat jauh dari cita-cita penanaman nilai-nilai yang ingin disampaikan agama,” sebut dia.
“Korban bernama Rindu 14 tahun, seharusnya bisa menjadi momentum kerinduan kita semua, akan agama dapat hadir ramah kepada anak di sekolah. Meski oknum guru itu sudah dikeluarkan, namun apakah pelajaran agama yang diajarkan dengan kekerasan itu juga hilang? Ini jadi pertanyaan kita semua,” imbuhnya.
Polisi menerima resume kondisi medis kematian siswa SMPN 1 STM Hilir Kabupaten Deli Serdang, Rindu Syahputra Sinaga (14), yang diduga tewas setelah dihukum squat jump 100 kali oleh gurunya. Hasil resume medis tersebut mengungkap penyebab kematian siswa SMP tersebut.
“Diperoleh ringkasan resume medis tindakan emergency dari RSU Sembiring Deli Tua. Di mana dalam resume tersebut tercantum diagnosa utama adalah penurunan kesadaran akibat gangguan elektrolit dan demam yang kemungkinan akibat tifus dengan diagnosa banding trauma pada lever serta pembengkakan pada paha kanan akibat trauma,” kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi, Rabu (1/10/2024).
*Parlin*